BANDAR LAMPUNG

Kebudayaan Lampung Kurang Diperhatikan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kalangan seniman Lampung menilai Pemerintah Provinsi Lampung dan pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki kepedulian terhadap seni dan budaya Lampung.

Penyair Lampung Udo Z. Karzi, Sabtu (25-10), mengatakan ketidakpedulian pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota terbukti dengan tidak adanya anggaran untuk seni dan kebudayaan. Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) habis untuk kepentingan politik. Dalam APBD Lampung tahun 2007 dan 2008 tidak ada alokasi untuk seni dan budaya.

Ketidakpedulian pemerintah daerah di Lampung, kata Udo, juga dilihat dengan tidak didukungnya kegiatan-kegiatan seni dan budaya. Beberapa kegiatan seni dan budaya diselenggarakan dengan dana swadaya dari para seniman.

"Paus Sastra Indonesia H.B. Jasin pernah mengungkapkan koran wajib menyediakan halaman untuk seni dan budaya. Demikian juga dengan pemerintah harus lebih peduli terhadap kebudayaan," kata Udo.

Menurut Udo, Pemprov Lampung harusnya bisa mencontoh apa yang dilakukan pemerintah Jawa Barat, Bali, dan Yogyakarta. Pemerintah daearah Jawa Barat, Bali, dan Yogyakarta mengangarkan dana untuk seni dan budaya daerah dalam APBD. Selain itu, para pejabat di tiga daerha tersebut secara rutin menghadiri kegiatan seni dan budaya.

"Para pejabat itu hadir bukan untuk memberikan sambutan, tapi hadir untuk menyaksikan pergelaran seni dan budaya. Bahkan ada yang hadir untuk membacakan puisi. Pejabat di Yogyakarta duduk bersama para seniman untuk menyaksikan pagelaran seni dan budaya," kata dia.

Kondisi tersebut, menurut Udo, sangat berbeda dengan pejabat daerah di Lampung. Pejabat di Lampung hadir dalam acara seni dan budaya hanya untuk memberikan sambutan. Pejabat di Lampung hadir dalam acara seni budaya jika diundang penyelengara. "Bagaimana Lampung mau maju jika tidak ada dukungan terhadap seni dan budaya," kata penyair Lampung yang pernah meraih Rancage Award itu. n */K-2 (PADLI RAMDAN)

Bangkitnya Identitas Kebudayaan Lampung

Sepanjang 2004, bisa dibilang, tahun kebangkitan kebudayaan di Lampung. Karena kesenian sebagai salah satu bentuk kreativitas kebudayaan bukan cuma menggeliat, juga telah bergerak dengan dinamika yang pantas dicatat. Hampir semua cabang kesenian seperti sastra, teater, seni rupa, dan seni tari, secara pasti, menorehkan jejak-jejak yang bakal menyejarah.

MEMANG, sepintas kita lihat, jejak-jejak itu mengarah pada pembentukan sebuah identitas baru bagi kebudayaan Lampung, meskipun dalam banyak hal terlihat ada upaya tidak sengaja meninggalkan identitas lamanya. Dalam dinamika realitas kehidupan modern, kehadiran identitas baru dan hilangnya identitas lama adalah risiko yang harus dipikul bersama. Ia menjadi tanggung jawab semua lapisan masyarakat sebagai implikasi dari keinginan mereka yang sangat kuat untuk membangun segala dinamika kehidupan.

Bagi Provinsi Lampung, yang secara budaya merupakan representasi keanekaragaman masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), munculnya identitas baru merupakan risiko yang tak terbantahkan. Identitas itu, bisa dibilang, hasil dialog antarbudaya yang berbeda sekaligus wujud sikap saling pengertian atas perbedaan yang ada.

Artinya, hampir semua kelompok budaya yang ada di Lampung, menyadari betul bahwa yang terpenting bukanlah siapa yang paling dominan di antara mereka. Melainkan, siapa yang paling mampu memberikan inspirasi bagi kelompok budaya lain, sehingga kreativitas dan produktivitas berkesinambungan.

Sebuah kesadaran budaya sudah tumbuh di lingkungan kita. Sebuah kesadaran dalam pemikiran kultural dikenal dengan konsep etnisitas. Etnisitas adalah sebuah konsep budaya yang berpusat pada pembagian norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, simbol, dan praktek-praktek budaya.

Formasi kelompok budaya menyandarkan diri pada pembagian penanda-penanda budaya yang dibangun di bawah konteks sejarah, sosial, dan politik yang khusus, yang mendorong perasaan saling memiliki, yang menciptakan mitos-mitos leluhur. Kelompok budaya tidaklah mendasarkan diri pada garis primordial atau karakteristik kultural yang bersifat universal, melainkan sebuah praktik diskursif. Etnisitas mewujud dalam bagaimana cara kita berbicara tentang identitas kelompok, tanda-tanda, dan simbol-simbol yang kita pakai mengidentifikasi kelompok.

Konsepsi kulturalis tentang etnisitas merupakan sebuah usaha berani melepaskan diri dari implikasi rasis yang inheren dalam sejarah konsep ras. Misalnya, subjek orang Lampung dan pengalama hidup mereka sebagai warga Lampung yang terpinggirkan politik “Jawaisasi” penguasa sejak zaman kolonialisme, pasti terkonstruksi secara historis, kultural, dan politis jika tidak distabilkan alam atau esensi lainnya. Salah satu upaya menstabilkannya adalah tidak mengobral etnisitas itu menjadi nasionalisme untuk membuat gerakan-gerakan etno-nasionalisme yang mengacaukan stabilitas yang ada.

Term etnisitas mengakui kedudukan sejarah, bahasa, dan kebudayaan dalam konstruksi subjektivitas dan identitas, seperti halnya fakta semua wacana selalu punya tempat, posisi, situasi, dan semua pengetahuan selalu kontekstual. Etnisitas terbangun dalam relasi kekuasaan antarkelompok. Ia merupakan sinyal keterpinggiran, sinyal tentang pusat dan pinggiran, dalam konteks sejarah yang selalu berubah.

Untuk memahami fenomena munculnya konsep putra daerah dalam dinamikan politik di daerah, misalnya, lebih pas jika dilihat dari kajian budaya. Perselisihan di daerah berbasis etnis dan mewujud dalam gerakan etno-nasionalisme yang berlangsung cukup merata di Tanah Air, sangat tidak memadai menjelaskan hal ini dari tradisi behavioralis mengingat kompleksnya persoalan ini karena menyangkut pula asal-usul sosial.

Etno-nasionalisme adalah gerakan destruktif yang menghancurkan konsep nasionalisme negara kebangsaan. Ia menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI, yang akhir-akhir ini menjadi fenomena kebangsaan di Indonesia. Kita tidak ingin momentum otonomi daerah direcoki gerakan-gerakan etno-nasionalisme, meskipun fenomena itulah yang kini melanda kehidupan berbagsa kita.

Etnisitas Budaya

“Kebudayaan” kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, “penting karena menyangkut identitas bangsa”. Jika pernyataan ini kita giring untuk memahami konteks Lampung, bisa dikatakan, persoalan kebudayaan sudah mencapai taraf menemukan identitasnya. Barangkali, sinyalemen ini akan ditentang banyak kalangan mengingat persoalan identitas sudah ada sejak lama, yakni kelokalan yang sangat kental. Tapi, kalau kita kembali pada konsep etnisitas seperti diuraikan di atas, kelokalan yang ada di Lampung tidak bisa dipahami semata-mata etnis Lampung.

Kita harus berpikir sebagai manusia yang menetap di sebuah negara kepulauan bernama Indonesia. Maka, semua pulau, semua daerah, dan semua tempat menjadi milik semua warga negara. Mengacu pandangan Benedict R. O’Gorman Anderson tentang nasionalisme, bisa dijawab mengapa orang yang belum pernah bertemu bisa merasa sama, merasa bersaudara, misalnya, sebagai orang Indonesia? Mengapa orang Jawa yang tinggal di Bandung dan sudah mengenal orang Sunda juga Provinsi Jawa Barat tetap merasa sebagai orang Jawa, dan bukan merasa menjadi orang Jawa Barat? Dengan kata lain, setiap orang yang tinggal di Lampung harus memiliki nasionalisme, bukan sebagai orang Jawa, Batak, Madura, Sunda, Bugis, Lampung atau Papua.

Dengan begitu, mereka merasa sebagai orang Indonesia sehingga tidak terlalu meributkan soal etnisitas masing-masing. Orang Sunda pada era otonomi daerah kini tidak merasa lebih sah sebagai pemilik Jawa Barat. Mereka tidak merasa lebih berhak mengurusi, memikirkan, dan memajukan daerahnya. Begitu juga dengan etnis-etnis lain, yang setiap etnis memiliki wilayah penyebaran masing-masing.

Konsep etnisitas bersifat relasional yang berkaitan identifikasi diri dan asal-usul sosial. Apa yang kita pikirkan sebagai identitas kita bergantung apa yang kita pikirkan sebagai bukan kita. Orang Jawa bukan Madura, Batak bukan Lampung, Sunda bukan Jawa, dll. Konsekuensinya, etnisitas akan lebih baik dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas formasi dan ditegakkan dalam kondisi sosio-historis yang spesifik.

Dengan demikian, jika kita membicarakan kebudayaan Lampung, sama halnya dengan membicarakan kebudayaan nasional, sehingga yang muncul pada cipta (image) kita adalah 300 kebudayaan kelompok budaya dengan lebih dari 500 dialek yang kita kenali melalui aneka ragam kesenian dan adat istiadat. Cipta ini membangun persepsi yang melihat keragaman budaya di Lampung sebagai sebuah kekayaan budaya yang perlu dilestarikan.

Tidak umum disadari persepsi itu berpangkal pada etnologi yang muncul pada masyarakat Barat dan bertujuan memahami kebudayaan non-Barat atau culture of the other. Merayakan keragaman kebudayaan etnik non-Barat berkaitan dengan incommensurability thesis pada etnografi yang melihat setiap kebudayaan etnik bersifat eksklusif dan harus dipahami berdasarkan konteksnya. Sebab itu, kajian etnografi sampai kini menutup dengan ketat batas-batas di antara kebudayaan etnik yang satu dan kebudayaan etnik yang lainnya.

Mustahil bagi kita menggunakan tesis ini untuk mempersoalkan kebudayaan Lampung. Secara politis tidak mungkin menutup dengan ketat batas-batas kebudayaan etnik dalam pengertian dan tujuan apa pun. Pengetatan batas ini akan menjadi celah bagi gerakan separatis. Kendati gerakan separatis hampir selalu dikarenakan persoalan politik, ketertutupan budaya etnik senantiasa menjadi alasan utama.

Beberapa pendapat tentang kebudayaan yang disorongkan budayawan dan seniman, bisa dijadikan pertimbangan.

Khususnya pandangan Rachman Arge, Nirwan Dewanto, Nirwan Arsuka, dan Radhar Panca Dahana, yang secara bersama-sama bisa membentuk acuan.

Rachman Arge melihat persoalan kebudayaan mendasari seluruh persoalan kehidupan yang kita hadapi sekarang ini, termasuk persoalan sosial politik, hukum, kesejahteraan, dan ekonomi. Nirwan Dewanto menekankan persoalan kebudayaan sebagai persoalan modernitas dalam kehidupan kita. Radhar Panca Dahana melihat kebudayaan sebagai sebuah proses dan Nirwan Arsuka menekankan perlunya keterlibatan anggota masyarakat pada proses ini.

Keempat pandangan itu meninggalkan persepsi umum tentang kebudayaan. Jika dikaji, persepsi umum tentang kebudayaan melihat kebudayaan sebagai gejala kata-benda (nounish phenomenon). Sebab itu, dalam persepsi umum ini kebudayaan ditentukan kumpulan benda-benda atau gejala yang dibendakan. Kebudayaan sesuatu bangsa, misalnya, tercermin pada karya-karya puncak bangsa itu.

Kebudayaan dalam persepsi ini adalah a set of things.

Keempat budayawan itu tidak melihat kebudayaan sebagai a set of things, tapi sebagai a set of practices atau kumpulan praktek dalam sebuah proses. Kebudayaan dalam pandangan ini–mengutip ungkapan pemikir dunia ketiga Stuart Hall–bergantung percaturan makna dan nilai yang mungkin terjadi karena kesamaan persepsi (bukan akibat penyamaan persepsi), kesamaan pemahaman (bukan penyamaan pendapat), dan kesamaan rasa (intuisi). Proses budaya ini bukan penyeragaman karena percaturan makna dan nilai yang terjadi mengandung proses negosiasi dan bahkan renegosiasi berbagai makna yang sudah stabil.

Pandangan keempat budayawan itu tidak berhenti pada sesuatu teori kebudayaan.

Pandangan mereka menyuruk ke persoalan kebudayaan yang sedang kita hadapi. Nirwan Dewanto menunjuk modernitas sebagai wilayah di mana proses negosiasi dan renegosiasi makna-makna itu terjadi. Rachman Arge menegaskan modernitas ini sebagai persoalan mendasar dari semua persoalan yang sedang kita hadapi sekarang ini. Termasuk proses pemahaman demokrasi dan pemburuan kesejahteraan dan jaminan kehidupan yang tercermin pada perkembangan ekonomi.

Dinamika Kesenian

Memang ketika kita mempersoalkan modernitas, yang muncul pada cipta kita adalah pengaruh asing, masuknya nilai-nilai Barat yang mengancam nilai-nilai Timur. Sebab itu, ada keengganan melihat modernitas sebagai gejala budaya. Tapi, persepsi ini selayaknya dikaji ulang.

Modernisasi yang terjadi di seluruh dunia memang berakar pada perkembangan kebudayaan Barat. Namun, modernisasi dunia sama sekali bukan “westernisasi” dunia. Berdasarkan tesis ini bisa dipastikan modernitas sebagai dampak modernisasi tidak seragam di seluruh dunia dan tidak cuma mengandung nilai-nilai Barat.

Modernisasi pada masyarakat non-Barat adalah gejala budaya. Pemikir Inggris keturunan India, Hommi Bhabha, melihat gejala budaya ini sebagai penerjemahan budaya (cultural translation). Kendati peniruan terlihat pada permukaannya, penerjemahan budaya memperlihatkan berbagai pergeseran makna dan nilai, bahkan pengubahan keutamaan yang memengaruhi pemikiran-pemikiran. Karena kebudayaan adalah pembentukan simbol-simbol, penerjemahan budaya melibatkan apa yang disebut Homi Bhabha, praktek-praktek interpelasi (interpelative practices) yang menunjukkan bekerjanya kekuatan-kekuatan lokal dalam penerjemahan budaya.

Menimbang pemikiran Homi Bhabha, bisa disimpulkan modernitas sebagai dampak penerjemahan budaya dibentuk pula oleh kekuatan-kekuatan lokal. Sebab itu, ciri-ciri lokal tidak pernah hilang pada modernitas. Maka, mempersoalkan modernitas sama sekali bukan menempatkan persoalan dunia modern semata-mata. Kebudayaan etnik di mana modernitas berkembang harus disiasati pula karena merupakan komponen yang menghadirkan kekuatan-kekuatan lokal.

Pandangan ini menemukan relevansinya dalam dinamika kebudayaan di Lampung sepanjang 2004, terutama jika kita memahami kesenian sebagai ranah kreatif kebudayaan. Sepanjang 2004, dinamika kesenian di Lampung tidak cuma mengelap warisan-warisan leluhur budaya. Melainkan, warisan leluhur budaya Lampung itu menjadi kekuatan lokal yang menjaga dan menstabilkan masyarakat pada tingkat pemikiran tentang bagaimana menerima dampak modernitas.

Dalam seni rupa, seperti yang diperlihatkan para perupa selama Bandar Lampung Art Expo 2004 digelar, 7–12 Desember 2004, masyarakat melihat nilai-nilai lokal Lampung muncul sebagai spirit dalam proses kreatif para perupa. Tema-tema lukisan mengangkat, bukan saja persoalan masyarakat Lampung, sekaligus memberi inspirasi tentang realitas masyarakat Lampung kini agar mereka lebih punya kekuatan menghadapi risiko-risiko modernisasi.

Mamanoor, kurator dari Galeri Nasional yang terlibat dalam Art Expo 2004, pantas mendapat pujian. Tema kuratorial Sumatransformation yang dia tawarkan bukan saja cerdik tetapi representatif dengan realitas masyarakat di Pulau Sumatra umumnya dan Lampung khususnya, sehingga tafsir-tafsir para perupa atas tema itu menghasilkan keaneragaman yang membawa kebaruan dalam seni rupa.

Tafsir para perupa ini cuma bisa terwujud karena pergulatan yang intens dengan lingkungan masyarakat, yang mengejawantah dalam hasil karsa dan budi berupa karya lukis. Ada semacam penghamburan wacana yang coba digulirkan dalam dunia seni rupa, ditopang semangat dan kekaryaan, sehingga harapan dunia seni rupa mampu mengangkat citra budaya, sosial, ekonomi, dan niaga di Lampung, bukan hal mustahil lagi di tangan perupa Lampung.

Pertumbuhan yang lebih pesat diperlihat dunia kesusastraan dengan dinamikanya yang mampu menggetarkan jagat kesusastraan nasional. Nama-nama baru muncul di panggung kesusastraan, terutama dari kalangan penyair-penyair muda, harus diakui telah mengangkat image Lampung sebagai “penghasil sastrawan” yang tidak bisa diabaikan.

Lampung, meskipun secara bisnis kurang diperhitungkan para investor sebagai daerah investasi, dari segi kesusastraan citra budayanya melambung tinggi. Sebutlah sederet nama sastrawan nasional yang terus berkarya, beberapa diantaranya datang dari iklim kreatif masyarakat Lampung, seperti Isbedy Stiawan Z.S., Edi Samudra K., Oyos Saroso H.N., Dina Oktaviana, Y. Wibowo, Ari Pahala Hutabarat, Jimmly Maruli Alfian, M. Arman A.Z., Binhad Nurrohmat, Dyah Indra Mertawirana, Dahta Gautama, dll. Apalagi Dewan Kesenian Lampung menetapkan agenda kesenian, Lampung Art Festival (LAF), yang digelar tiap tahun; bisa dibilang Lampung punya andil besar menggerakkan perkembangan kesusastraan nasional.

Begitu juga dalam tari. Kita menangkap sentuhan balet, pantomin, teater, dan tai chi. Seluruh gerakan begitu luwes, lincah, dan dinamis. Tidak ada lagi gerakan-gerakan kaku yang biasa kita temukan dalam tari tradisional. Realitas seperti itu terjadi dalam Lampung Tari Peristiwa, even peristiwa tari yang digelar Dewan Kesenian Lampung (DKL) pada September 2004 lalu. Wacana-wacana yang dihaburkan para koreografer dalam peristiwa tari itu, lewat karya-karya tarinya, mampu memberi inspirasi bagi masyarakat tentang bagaimana menghadapi realitas peradaban modern saat ini. Lihat saja bagaimana Manto, Nani Rahayu, Agus, Amin, dan Gandung Hartadi menawarkan tema. Sembilan koreografer yang dilibatkan, empat berasal dari luar Lampung–Valendra (Solo), I Nyoman Sura (Bali), Winarto Ekram (Malang), dan Ana Maini (Ogan Komering Ulu)–memperkaya khazanah tafsir tari.

Lampung Tari Peristiwa, bagai sebuah babakan dari kebangkitan seni tari di Lampung. Ia menjadi fase awal sebelum para kreografer menunjukkan jati dirinya di ajang sekelas Art Summit atau Indonesian Dance Festival. Semoga.

Pemikir(an) Kebudayaan Lampung

Terus terang, saya berharap banyak mendapatkan "sesuatu" ketika menghadiri peluncuran buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2006) karya H. Rizani Puspawidjaya, S.H. di Hotel Indra Puri, Bandar Lampung, 19 Oktober 2006. Meski telat saya dapat menangkap substansi dari acara ini: tak lebih dari membicarakan masalah lama yang -- menurut saya -- sudah terlalu sering dibahas.

Ah, mungkin saya terlalu berharap banyak pada pertemuan itu. Barangkali juga saya terlalu terobsesi ingin menemukan hal yang terasa menggairahkan dari apa yang saya angan dari "kebudayaan Lampung". Sungguh, terlalu minim untuk berbicara secara lebih komprehensif tentang yang disebut dengan kebudayaan Lampung. Buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran terlalu sedikit untuk menjawab rasa ingin tahu saya tentang: Apa, siapa, dan bagaimanakah manusia dan kebudayaan Lampung itu?

Relatif tidak ada yang baru -- minimal interpretasi baru tentang kebudayaan Lampung -- dari isi buku ini. Kalau dirujuk, masalah-masalah yang dibahas tidak jauh dari hasil diskusi/seminar yang melibatkan, antara lain Prof. Hilman Hadikusuma (alm.), Anshori Djausal, A. Effendi Sanusi, Sanusi Husin, Firdaus Augustian, dan Rizani Puspawidjaya sendiri selama ini. Semua pembicaraan itu sebenarnya sudah terangkum dalam buku Adat Istiadat Lampung (diterbitkan Kanwil Depdikbud Lampung, 1979/1980; cetak ulang 1985/1986) yang ditulis Hilman Hadikusuma dkk.

Sebenarnya, tidak ada persoalan kalau tak ada buku-buku: Manusia Indonesia (karya Mochtar Lubis) yang disusul buku-buku tentang manusia/kebudayaan Jawa, Sunda, Bugis/Makassar, Batak, Minangkabau, dan lain-lain yang ditulis para sejarahwan-sosiolog-antropolog. Dan, baru-baru ini terbit dua buku antropologi dan sejarah terjemahan: Bugis (karya Christian Pelras) dan Kerajaan Aceh, Zaman Iskandar Muda 1607-1636 (karya Denys Lombard).

Membaca buku-buku textbook itu, saya merasa semakin "cemburu" ketika dihadapkan pada sebuah konsep yang mahakomplek tentang manusia/masyarakat dan kebudayaan Lampung. Referensi yang sudah ada -- menurut saya -- sangat tidak cukup untuk menerangkan konsep itu. Kebanyakan ulun Lampung hanya bicara hal-hal kecil tentang sastra lisan Lampung, bahasa Lampung, kesenian Lampung, piil pesenggiri, adat istiadat, kebiasaan, serta hal-hal lain yang serbakecil semacam Tugu Siger, perbedaan Pepadun dan Peminggir (menurut textbook bukan Pesisir atau Saibatin!), dan pembagian orang Lampung secara sektarian (orang Abung, orang Menggala, orang Pubian, orang Sungkai, orang Way Kanan, orang Belalau, dll) yang tidak akan mampu menerangkan apa yang dimaksud dengan kebudayaan Lampung secara general.

Kebudayaan Lampung?

Sebelum masuk terlalu jauh, saya ingin mengutipkan sebuah definisi tentang kebudayaan. Soalnya, konsep ini terlalu sering disempitkan artinya dengan kesenian, adat-istiadat, atau apalah.

Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu sikap dan orientasi nilai yang mempengaruhi pemikiran dan mendorong ke suatu tindakan; serta seni budaya sebagai wujud material kebudayaan yang dapat menghasilkan interaksi secara dinamis dan reflektif antara jati diri bangsa dan modernitas. Wujud konkretnya, antara lain mendorong tumbuhnya rasa percaya di antara sesama warga bangsa, disiplin, meletakkan pendidikan dalam pusat kehidupan, dan tidak hidup konsumtif.

Kebudayaan bisa diteropong dari berbagai sudut pandang. Tetapi, setidaknya ada tiga dimensi yang dicakup kebudayaan. Ketiga dimensi itu adalah dimensi ide, dimensi material, dan dimensi perilaku.

Dimensi ide menyangkut nilai-nilai kehidupan, tujuan-tujuan, dan cita-cita yang kadang-kadang bersifat utopis dan dikemukakan sebagai sesuatu arahan untuk bergerak maju. Budaya material berwujud ke dalam, antara lain seni dan bentuk-bentuk peninggalan masa lalu seperti karya arsitektur, prasasti, dan bangunan candi. Dimensi perilaku adalah wujud yang hadir sehari-hari, termasuk di dalamnya bahasa.
Saat ini ada kecenderungan kebudayaan diasingkan dari fakta sosial, ekonomi, dan politik. Tetapi, pada saat yang sama kebudayaan menemukan perannya sebagai pentas untuk merayakan gaya hidup yang menakutkan dan juga membius (Ninuk Mardiana Pambudy, Kompas, Senin, 31 Juli 2006).

Definisi kebudayaan ini menunjukkan kepada kita betapa luasnya cakupan konsep kebudayaan. Maka, ketika kita disodorkan sebuah pertanyaan tentang apa dan bagaimana kebudayaan Lampung itu, tidak bisa tidak tercakup di dalamnya dimensi ide, dimensi material, dan dimensi perilaku. Pertanyaannya, dimensi ide, material, dan perilaku apakah yang khas yang melekat pada ulun Lampung (masyarakat Lampung secara kolektif)? Saya pikir, tidak mudah menggambarkan masalah ini secara sistematis, komprehensif, dan ilmiah; yang bukan berdasarkan prasangka.

Piil Pesenggiri

Bagian yang kembali menyulut perdebatan adalah konsep piil pesenggiri. Rizani Puspawijaya menuturkan, pada 1988, saat digelar Dialog Kebudayaan Daerah Lampung, Rizani Puspawijaya dan almarhum Hilman Hadikusuma berusaha mereaktualisasikan konsep piil pesenggiri sebagai kearifan budaya Lampung. Ketika itu, para intelektual Lampung masih sulit menerimanya dengan berbagai argumentasi penolakan. "Saya yang pertama sekali memperkenalkan konsep filsafat piil pesenggiri dalam skripsi gelar sarjana. Bersama almarhum Prof. Hilman Hadikusuma, konsep itu terus dipelajari dan dikaji sehingga bisa dirumuskan unsur-unsur pembentuk piil pesenggiri yang terdiri dari juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai-sambaiyan, dan titie gemanttei," kata Rizani Puspawidjaja (Lampung Post, 20 Oktober 2006).

Beberapa minggu setelah itu, Firdaus Augustian menulis "Puzzle Bernama Piil Pesenggiri" (Lampung Post, 11 November 2006) yang menggugat piil pesenggiri. "Rasanya terlalu berlebihan kalau kita mengatakan tatanan moral piil pesenggiri yang merupakan inspirasi dan motivasi berpikir dan bersikap masyarakat Lampung, hanya dikenal masyarakat Lampung. Kebudayaan lain pun apalagi pada masyarakat tradisional amat akrab terhadap tatanan moral ini. Bahkan, tatanan moral ini telah built in dalam kehidupan mereka," kata Firdaus.

Tapi segera saja Fachruddin (Lampung Post, 18 November 2006) menampik dengan mengatakan, piil pesenggiri sudah menjadi milik perguruan tinggi, diuji para guru besar dengan pendekatan akademis, bukan sekadar puzzle dengan tantangan yang relatif ringan. Piil pesenggiri sebuah keseriusan, seriusnya mereka yang mengidamkan berdirinya Kesultanan Islam Lampung, di mana piil pesenggiri sebagai dasar nilainya.

Masih menurut Fachruddin, berbeda dengan piil pesenggiri yang dipanuti masyarakat Lampung. Banten memberikan advokasi dengan kitab Kuntara Rajaniti, seperti yang diturunkan kepada Keratuan Darah Putih, yang diniatkan untuk masyarakat mulai dari Kalianda, Padang Cermin, Cukuh Balak, hingga Semaka. Sebenarnya para pimpinan adat telah siap mendukung berdirinya Kesultanan Islam Lampung bersama Keratuan Pugung.

"Saya pernah dikejutkan ketika menghadiri upacara anjau marga di daerah Cukuh Balak, ternyata ada seorang tokoh adat yang berpidato dengan inti pidato: khepot delom mufakat, khopkhama delom bekekhja, tetengah tetanggah, bupudak waya, bupiil bupesenggir. Berarti di daerah pesisir pun dikenal piil pesenggiri, kendati sedikit berbeda. Tetapi mengapa kita harus sibuk mencari perbedaan, bukankah lebih baik kita mencari persamaan agar kekayaan yang masih terpendam ini dapat digali sebagai sumbangan bagi kemajuan ummat manusia," tulis Fachruddin.

Begini -- ini menurut saya -- masih dibutuhkan penelitian (reseach) mendalam soal piil pesenggiri. Saya pikir, piil pesenggiri bukan kitab suci yang tidak bisa dipermasalahkan. Misalnya, masih dibutuhkan bukti yang lebih banyak lagi soal betapa orang Lampung tak bisa lepas dari piil pesenggiri-nya. Syukur-syukur ada interpretasi atau tafsir baru piil pesenggiri.

Ada tidak ada, yang jelas dia sudah menjadi wacana publik, menjadi bagian dari konsep adat-istiadat Lampung dan sebagian kecil dari konsep besar bernama kebudayaan Lampung.

Pemikir(an) Kebudayaan Lampung

Saya sebenarnya gembira ketika Rizani mengatakan, orang Lampung itu terbuka, demokratis, dan ada konsep kepemimpinan Lampung?

Wah, saya pikir ini kan kajian yang menarik tentang konsep-konsep kekuasaan Lampung (sebagai contoh, konsep kekuasaan Jawa sudah jelas dipaparkan oleh Benedict Anderson, Cliffort Geerth, dll). Sayangnya, tidak ada yang mengelaborasi lebih jauh, tentang bagaimana sikap terbukanya orang Lampung itu, dimana letak demokratis orang Lampung, dan bagaimana contoh kepemimpinan Lampung itu.

Saya hanya memimpikan penelitian dan diskusi sosial dan kebudayaan Lampung marak. Dengan kata lain, Lampung memiliki banyak pemikir dan pemikiran kebudayaan Lampung. Sehingga orang tak lagi berkata, "Kebudayaan Lampung, Api Muneh" (Udo Z. Karzi, Lampung Post, 23 Oktober 2005). Cuma siapakah yang mau memulai? Pemerintah daerah yang lebih berorientasi "proyek" susah diharap. Yang paling mungkin adalah perguruan tinggi, terutama Universitas Lampung (baca: Udo Z. Karzi, "Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung", Lampung Post, 8 April 2006), yang paling kompeten. Atau adakah orang atau lembaga yang lebih tepat?

Pemikiran kebudayaan Lampung hanya akan lahir dari pemahaman konsep kebudayaan yang benar dan dari riset dengan metodologi yang benar oleh peneliti/pemikir kebudayaan yang teliti, tekun, dan konsisten. Tentu saja, gagasan kebudayaan yang muncul tidak berasal dari pemikiran sempit dan sektarian yang membagi-bagi Lampung menjadi bagian yang kecil-kecil: adat Pepadun dan adat Peminggir, bahasa dialek A (api) dan O (nyo), Menggala, Abung, Pepadun, Melinting, Belalau, Way Kanan, Kalianda, dan seterusnya.

Budaya Lampung. Bahasa Lampung. Adat Lampung. Kesenian Lampung. Sastra Lampung.... dst. Lampung!

Saya menulis dalam bahasa Lampung. Tidak saya namai bahasa Lampung Pesisir. Cukup saya katakan: memakai bahasa Lampung?

Bisakah kita -- ulun Lampung -- berbicara dengan bahasa kesatuan: Lampung (!) untuk kemudian secara bersama merumuskan kebudayaan Lampung?

Sungguh, belum ada lagi pengganti pakar hukum adat Lampung almarhum Prof. Hilman Hadikusuma!

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 2 Desember 2006